Selasa, 03 September 2013

Pembabakan Jaman Menurut Hasil Kebudayaan

BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Waktu (time) merupakan salah satu konsep dasar sejarah selain ruang (space), kegiatan manusia (human activity). Perubahan (change) dan kesinambungan (continuity). Ia merupakan unsur penting dari sejarah yaitu kejadian masa lalu. Dengan kata lain waktu merupakan konstruksi gagasan yang digunakan untuk memberi makna dalam kehidupan di dunia. Manusia tak dapat dilepaskan dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri. Agar waktu dalam setiap peristiwa atau kejadian dapat dipahami, maka sejarah membuat pembabakan waktu atau periodisasi. Maksud periodisasi ini adalah agar babak waktu itu menjadi jelas ciri-cirinya. Contohnya sejarah Eropa dapat dibagi ke dalam 3 periode yaitu zaman klasik/kuno, zaman pertengahan dan zaman modern.
            Periodisasi atau pembabakan waktu sejarah Indonesia menurut Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, dibagi menjadi 4 periode, yaitu: zaman prasejarah, zaman kuno, zaman Islam, dan zaman modern.
Tetapi secara graris besar periodisasi sejarah dibagi menjadi zaman prasejarah dan zaman sejarah sebagi berikut.

Dalam mempelajari zaman prasejarah, di mana belum ditemukan bukti-bukti tertulis, maka untuk mengetahui peristiwa atau kejadian pada masa tersebut harus bekerjasama dengan disiplin ilmu yang lain antara lain: Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui artefak. Dari hasil penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi maka prasejarah dapat dibagi menjadi 2 zaman, yaitu: zaman batu dan zaman logam.

2. RUMUSAN MASALAH
Berdasakan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian, ciri-ciri, dan hasil kebudayaan dari zaman batu dan zaman logam?
2.  Bagaimana bentuk hasil kebudayaan tersebut dan apa saja hasil kebudayaan dari zaman batu     dan zaman logam?



















BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Zaman Batu
Zaman Batu terjadi sebelum logam dikenal dan alat-alat kebudayaan terutama dibuat dari batu di samping kayu dan tulang. Zaman Batu adalah pada zaman itu ,manusia masih belum mengenal peralatan yg terbuat dari bahan lain selain batu, mulai dari kampak ,ujung tombak,alat pemecah, atau untuk membelah semuanya di buat atau berasal dari batu. Batu  pada wkt di temukan suddh berbentuk seperti kampak, ujung tombak ,atau di sengaja buat sedemikian rupa, sehingga berbentuk seperti yg diinginkan,  yaitu dengan menggunakan batu juga sebagai alatnya. Karena, pada zaman itu tdk ada atau belum ditemukan logam seperti zaman sekarang ini. Zaman batu ini dapat dibagi lagi atas:


1.     Zaman Batu Tua (Palaeolithikum)

Palaeolithikum (Zaman batu tua) adalah zaman purba yang berlangsung antara 750.000 tahun sampai 15.000 tahun yang lalu, ditandai oleh pemakaian alat-alat serpih; zaman batu tua. Disebut Zaman batu tua (palaeolitikum),  sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis.
Pada zaman ini, manusia hidup secara nomaden dalam kumpulan kecil untuk mencari makanan. Mereka memburu binatang, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan sebagai makanan. Mereka belum bisa bercocok tanam. Mereka menggunakan batu, kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan memburu. Mereka membuat pakaian dari kulit binatang tangkapan mereka. Selain itu, mereka telah pandai menggunakan api untuk memasak, memanaskan badan dan mengusir binatang. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Pendukung kebudayaan ini adalah Homo Erectus yang berdiri.
Masa paling awal dari peradaban manusia ini ditandai dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba yang dalam perhitungan ilmiah berusia sekitar 1 juta tahun yang lalu. Contoh manusia purba saat itu adalahPhitecantropus Erectus, yang dari bentuk ukuran tulang pahanya (femur) dapat dikategorikan sebagai homo erectus atau manusia yang berjalan tegak. Dan alat berburunya seperti kapak genggam, menunjukkan corak produksi manusia masa itu masih dalam masa perburuan. Dalam masa ini manusia masih berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam usahanya mendapatkan binatang buruan.

Beberapa peninggalan hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum, di antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial, alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah dikerjakan kedua sisinya. Alat-alat ini tidak dapat digolongkan ke dalam kebudayaan batu teras maupun golongan flake.
Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan, tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum, di antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial,alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah dikerjakan kedua sisinya.
Contoh alat-alat tsb adalah :

Kapak Genggam, banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut “Chopper” (alat penetak/pemotong)Dinamakan kapak genggam, karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper artinya alat penetak. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam.
Cara  menggunakan chopper  adalah jika kita akan memotong kayu yang basah atau tali yang besar, sementara kita tidak memiliki alat pemotong, maka kita dapat mengambil pecahan batu yang tajam. Kayu atau tali yang akan dipotong diletakan pada benda yang keras dan bagian yang kan dipotong dipukul dengan batu, maka kayu atau tali akan putus. Itulah, cara menggunakan kapak penetak atau chopper
Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa

Fungsi: -untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah
             - menangkap ikan
Flakes, yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon,yang dapat digunakan untuk mengupas makanan. Fungsi: -untuk menguliti hewan buruan
                                              -mengiris daging buruan
                                              -memotong umbi-umbian, buah-buahan
                                              -menangkap ikan

            Alat-alat ini tidak dapat digolongkan kedalam kebudayaan batu teras maupun golongan flake. Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan, tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum dapat dilihat pada gambar di bawah ini.. Contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum adalah flake atau alat-alat serpih.
            Hasil kebudayaan ini banyak ditemukan di wilayah Indonesia, terutama di Sangiran (Jawa Tengah) dan Cebbenge (Sulawesi Selatan). Flake memiliki fungsi yang besar,terutama untuk mengelupas kulit umbi-umbian dan kulit hewan. Berdasarkan tempat penemuannya, hasil-hasil kebudayaan
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBk9-lk8Qtj5okro0Dm_Vop2p3_TLbeq10lgMhjmQbTq9-K4Ex_MnUueSvJ6qTQPZFq1pfveaRTNsvpXI2Om6Oy_W3b57Oy5xetBeaghMx45vSa27lpzO4yqyYx1Os8DmPVgM7qcMgei8/s320/2298376608_16f8477431.jpg
Zaman batu tua di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu kebudayaan Ngandong dan kebudayaang Pacitan. 
a. Kebudayaan Pacitan
            Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan.Kapak genggam itu berbentuk kapak,tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
            Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang,kapak genggam, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu, di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang PattaE (Sulawesi Selatan)

            Hasil kebudayaan cara hidup pendukung kebudayaan Pacitan
- kapak genggam
- kapak perimbas
- alat serpih

 Kebudayaan Ngandong
- kapak genggam
- alat dari tulang dan
- tanduk rusa
- alat serpih(flake)
- berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering), berpindah-pindah(nomaden), mengenal api, memelihara hewan (Phitecanthropus Erectus) hidup di padang rumput.
Manusia pendukung kebudayaan ini adalah :
  1. Pacitan : Pithecanthropus dan
2.      Ngandong : Homo Wajakensis dan Homo soloensis


Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6FSiEDR6-mJ0OEinFufSO5-ExssTimw1QXf-CdyYvE8UFIMZA2XY_KHINLHd635by7sfCl0R9_iq6S43qi4uOH6_Co3OZl9f_1-bmGtcTaxUUvdP3dNfaJguW57AGevJ60MqyNzbZcC8/s320/paleolitikum-darwinstable-dalam.jpg
Pada Zaman Paleolitikum, di samping ditemukan hasil-hasil kebudayaan, juga ditemukan beberapa peninggalan sebagaimana yang ditemukan di Sangiran dan Cebbenge, seperti tengkorak (2 buah), fragmen kecil dari rahang bawah kanan, dan tulang paha (6 buah) yang diperkirakan dari jenis manusia.
            Selama masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Hal yang agak aneh karena Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit, busur alis mata yang tebal, otak yang kecil, rahang yang besar, dan geraham yang kokoh.
2. Zaman Batu Besar (Mesolithikum)

            
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum yang sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Alat-alat zaman Mesolithikum :
  1. Kapak genggam (peble)
  2. Kapak pendek (hache Courte)
  3. Pipisan (batu-batu penggiling)
  4. Kapak-kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah.
            Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
            Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
            Bentuk pebble dapat dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak halus. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam.
Di samping kapak-kapak yang ditemukan juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah, bahan cat merah yang dihaluskan berasal dari tanah merah. Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulang-tulang tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens.     
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0smphpwQe9t7g0d90yrscHzrjR3gXMF-x3XCk9_MRDokSbIEUpNXFSWPCQDa2Uv3UL2v6iDmwRbGeiL0mdu5DP00QlNi2xlpn_eYpCCvgEjpKsoWCcr6OTyuixNZeR8P1NDnsmcXW1go/s320/manusia+pendukung+jaman+mesolithikum.jpg
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b0/Abri_sous_roche.jpg/220px-Abri_sous_roche.jpg
Salah satu peninggalan zaman mesolitik berupa Abris sous roche.
Alat-alat Kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua-gua yang disebut “Abris Sous Roche” Adapun alat-alat tersebut adalah :
  1. Flaces (alat serpih) , yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu dan berguna untuk mengupas makanan.
  2. Ujung mata panah,
  3. Batu penggilingan (pipisan),
  4. Kapak,
  5. Alat-alat dari tulang dan tanduk rusa,
Alat-alat ini ditemukan di gua lawa Sampung Jawa Timur (Istilahnya: Sampung Bone Culture = kebudayaan Sampung terbuat dari Tulang).
Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture/kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.
Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM.
Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
Tiga bagian penting Kebudayaan Mesolithikum,yaitu :
  1. Peble-Culture (alat kebudayaan Kapak genggam) didapatkan di Kjokken Modinger
  2. Bone-Culture (alat kebudayaan dari Tulang)
  3. Flakes Culture (kebudayaan alat serpih) didapatkan di Abris sous Roche.
            Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Philipina.
Berdasarkan uraian materi di atas dapatlah disimpulkan:
a.       Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat.
b.       Kebudayaan flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur.
Untuk lebih memahami penyebaran kebudayaan Mesolithikum ke Indonesia, maka simaklah gambar 7 peta penyebaran kebudayaan tersebut ke Indonesia.

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguqLMepb26CDo1nhilabXeKsLd2NrQNMRGhFQx4yRg9JoCNlHlZuG1MydOslmo8rQ7FCFT8DkUm_UgbQKK7TvHY1jTYKTkFC_G0BaF7tKlAnZ_2XibVpcDxCc33dxhEhlICaJg-e7hGaA/s320/sej102_13.gif


Dapat disimpulkan, membandingkan penyebaran kebudayaan Mesolithikum lebih banyak dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan Palaeolithikum. Dengan demikian masyarakat prasejarah selalu mengalami perkembangan. Pergantian zaman dari Mesolithikum ke zaman Neolithikum membuktikan bahwa kebudayaannya mengalami perkembangan dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks.
3. Zaman Batu Muda (Neolithikum).
            Hasil kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolithikum ini adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Contoh alat tersebut :
  1. Kapak Persegi, misalnya Beliung, Pacul dan Torah untuk mengerjakan kayu. Ditemukan di Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
  2. Kapak Bahu, sama seperti kapak persegi ,hanya di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Hanya di temukan di Minahasa.
  3. Kapak Lonjong, banyak ditemukan di Irian, Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa dan Serawak.
  4. Perhiasan ( gelang dan kalung dari batu indah), ditemukan di jawa.
  5. Pakaian (dari kulit kayu).
  6. Tembikar (periuk belanga), ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Melolo(Sumba).
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1BS2SrMxC9htkGusjQkE2cf3Zl_aOJCvxLF1iWE8aac_Z7z9qiC4KNEgvFBrN_qpE5iHPIc-UrSmeif8ZNJ1KLrom_OdKTwiQ6re4L41cvVlzrGdA5vc1r00f1UHlYDZpsugwAuF12ck/s320/sej102_14.gif
Gambar. Peninggalan zaman Neolithikum
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium.
Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran.

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiybKxS-THy8QywXSac4upfZlZoTTbHTyfDOf7EgeRlNfMFsFaFViY5YlZxFwow4aYHEOUDPMXBuVonYhNGvORYfF060JInZXZe74GuH-_Wb7Fm9E1B5Z1QBHJzwqV90-Ut2Eh-IfUfGLk/s320/sej102_15.gif
Gambar. Kapak Chalcedon.
Daerah asal kapak persegi adalah daratan Asia masuk ke Indonesia melalui jalur barat dan daerah penyebarannya di Indonesia adalah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Walaupun kapak persegi berasal dari daratan Asia, tetapi di Indonesia banyak ditemukan pabrik/tempat pembuatan kapak tersebut yaitu di Lahat (Sumatera Selatan), Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan serta lereng selatan gunung Ijen (Jawa Timur). Pada waktu yang hampir bersamaan dengan penyebaran kapak persegi, di Indonesia Timur juga tersebar sejenis kapak yang penampang melintangnya berbentuk lonjong sehingga disebut kapak lonjong.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaOxLOkTXMK9nyUC63fIsbqkYxQSOq4YBqHa4cECUwNk8866-hKVwahc3q9U9Llgsz9iLP7vv6-at7mVcyx2XsQkMCdx1H9Jq6xBVKD2ujczhomWMKiYNaeSWqlRwNl9cwzQWoA_QcpqI/s320/sej102_16.gif

Gambar. Kapak Lonjong.
Dengan adanya gambar kapak lonjong seperti pada gambar diatas, bagaimana menurut pendapat Anda bentuk keseluruhan dari kapak lonjong tersebut?
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua. 
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg661EO5kHrlr_iv5WFKblMDrTrT_6rQ_XdFCdX-G58dvz8Tm5xHtI5E-pAlCtcI2q7rPc-NDqV-v7cH-MjU7HmgcjSPqX3I_zQ8D6-QRvMXpYqYq4UarcIPpKXPZSBnnDJFsnj8GyK3CM/s400/hasil+kebudayaan.jpg

4. Zaman Batu Besar (Megalithikum)
                Megalithikum atau kebudayaan batu besar sesungguhnya bukanlah mempunyai arti timbulnya kembali  zaman batu sesudah zaman logam, tetapi kebudayaan megalithikum adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar yang muncul sejak zaman Neolithikum dan berkembang pesat pada zaman logam.
            Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
            Dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
            Peninggalan kebudayaan megalithikum ternyata masih dapat Anda lihat sampai sekarang, karena pada beberapa suku-suku bangsa di Indonesia masih memanfaatkan kebudayaan megalithikum tersebut. Contohnya seperti suku Nias. Contoh-contoh dari hasil kebudayaan megalithikum yang akan disajikan pada uraian materi berikut ini.
1. Menhir
            Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.
            Lokasi tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
            Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Selain menhir terdapat bangunan yang lain bentuknya, tetapi fungsinya sama yaitu sebagai punden berundak-undak.
2. Punden Berundak-undak
            Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal.  Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur.
            Candi Borobudur di Jawa Tengah adalah bangunan pemujaaan untuk umat Budha, dan menurut Prof. Dr. Sutjipto Wirgosuparto, arsitektur bangunan Borobudur merupakan tiruan atau kelanjutan dari punden berundak-undak.
            Persamaan antara Borobudur dengan Punden Berundak-undak adalah sama-sama sebagai bangunan suci karena berfungsi untuk tempat pemujaan. Adapun perbedaannya candi Borobudur merupakan bangunan suci umat Budha, dan bentuk bangunannya sempurna dan indah karena penuh dengan relief dan ragam hias. Sedangkan Punden Berundak-undak hanyalah bangunan biasa yang terbuat dari batu yang disusun bertingkat-tingkat tanpa relief ataupun ragam hias dan sebagai tempat memuja arwah nenek moyang yang sudah meninggal.
3. Dolmen
            Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu.
            Dengan demikian dolmen yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan kuburan batu. Lokasi penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan/Jawa Barat, Bondowoso/Jawa Timur, Merawan, Jember/Jatim, Pasemah/Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.

            Bagi masyarakat Jawa Timur, dolmen yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat menyimpan mayat lebih dikenal dengan sebutan Pandhusa atau makam Cina.
4. Sarkofagus
            Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari perunggu serta besi.
            Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam.

5. Peti kubur
            Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari lempengan/papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang dilengkapi dengan alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu.
            Daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga ditemukan rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi serta manik-manik. Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu Anda dapat mengetahui persamaan antara peti kubur dengan sarkofagus, dimana keduanya merupakan tempat menyimpan mayat yang disertai bekal kuburnya.
 
            Perbedaaan Peti Kubur Dengan Sarkofagus,  bahwa sarkofagus adalah keranda/peti mayat yang dibuat dari batu yang masih utuh dan batu utuh tersebut dibentuk seperti lesung yang ada tutupnya. Sedangkan peti kubur adalah peti mayat yang dibuat lempengan-lempengan batu/papan-papan batu disusun membentuk kotak batu yang disertai dengan tutupnya,
6. Arca batu
            Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet. Sedangkan bentuk arca manusia yang ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis seperti arca batu gajah.
            Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
.
            Penelitian terhadap Kebudayaan Megalithikum di dataran tinggi Pasemah/Sumatera Selatan dilakukan oleh Dr. Van Der Hoep dan Van Heine Geldern. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa Kebudayaan Perunggu mempengaruhi Kebudayaan Megalithikum atau dengan kata lain Kebudayaan Megalithikum merupakan cabang dari Kebudayaan Dongson (Perunggu).
            Kesimpulan ini dibuat karena di Pasemah banyak ditemukan peninggalan budaya Megalith dan budaya perunggu, seperti patung/arca prajurit dengan topi logam/helm yang mengendarai kerbau atau gajah. Prajurit tersebut juga membawa nekara kecil pada panggungnya.


2.  Zaman Logam
1. ZAMAN LOGAM
Pada zaman prasejarah,  zaman dibedakan berdasarkan alat-alatnya, yaitu, zaman batu dan logam. Zaman batu yang termuda adalah zaman neolitikum dan zaman selanjutnya adalah zaman logam. Dengan dimulainya zaman logam, bukan berati berakhir zaman batu, karena pada zaman logam masih terdapat alat-alat dan perkakas batu. Nama zaman logam hanya untuk menyatakan bahwa saat itu logam telah dikenal dan dipergunakan  orang untuk membuat alat-alat yang diperlukan.
Dari zaman-zaman prasejara, dapat ketahui bahwa zaman logam dibagi lagi atas zaman tembaga, perunggu dan besi. Asia Tenggara tidak mengenal zaman tembaga. Setelah neolitikum langsung ke zaman perunggu dan  berlanjut ke zaman besi. Di Indonesia zaman logam pun sulit untuk dibago ke dalam zaman perunggu atau besi. Bisa dikatakan bahwa zama logam di Indonesia hanya zama perunggu, karena alat-alat perkakas besi tidak banyak bedanya dengan alat-alat zaman perunggu.
2. Zaman Perunggu

Zaman Perunggu adalah masalah dalam perkembangan sebuahperadaban ketika kerajinan logam yang paling maju telah mengembangkan teknik melebur tembaga dari hasil bumi dan membuat perunggu. Zaman Perunggu adalah bagian dari sistem tiga zaman untuk masyarakat prasejarah dan terjadi setelah Zaman Neolitikum di beberapa wilayan di dunia. Di sebagian besar Afrikasubsahara, Zaman Neolitikum langsung diikuti Zaman Besi.
Zaman perunggu berlangsung kurang lebih 500 tahun SM. Teknik pembuatannya adalah a cire perdue (cetak hilang, hanya sesekali untuk mencetak). Contoh di Bali ditemukan cetak nekara dari batu. Yang dicetak dengan cetakan batu adalah nekara lilin, sedangkan nekara perunggunya dicetak dengan a cire perdue. Di jaman sekarang orang membuat cetakan yang dapat dipakai berkali-kali disebut bivalve (dua setangkup). Perunggu merupakan campuran timah putih dan tembaga.
Pada zaman perunggu atau yang disebut juga dengan kebudayaan Dongson-Tonkin Cina (pusat kebudayaan)ini manusia purba sudah dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10 sehingga diperoleh logam yang lebih keras.
                              
Alat-alat perunggu pada zaman ini antara lain :
a. Kapak Corong (Kapak perunggu, termasuk golongan alat perkakas) ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa-Bali, Sulawesi, Kepulauan Selayar, Irian
b. Nekara Perunggu (Moko) sejenis dandang yang digunakan sebagai maskawin. Ditemukan di Sumatera, Jawa-Bali, Sumbawa, Roti, Selayar, Leti
c. Benjana Perunggu ditemukan di Madura dan Sumatera.
d. Arca Perunggu ditemukan di Bang-kinang (Riau), Lumajang (Jawa Timur) dan Bogor (Jawa Barat.
A.   Kapak Corong
Pada zaman kebudayaan di Eropa, menghasilkan kapak-kapak tembaga yang masih menyerupai kapak batu. Bentuk dan wujud dari kapak tembaga itu tidak berbeda dari dari kapak batu, bahkan sering terdapat tanda bahwa sengaja tembaga itu menyerupai bentuk batu.
Di Indonesia, kapak logam yang ditemukan adalah kapak perunggu yang sudah menyerupai bentuk tersendiri. Kapak ini biasanya dinamakan”kapak sepatu”, maksudnya ialah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya belah, sedangkan ke dalam corong itulah dimasukkan tangkai kayunya yang menyiku kepada bidang kapak. Jadi, seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan tangkainya dengan kaki orang. Lebih tepat kapak ini dinamakan kapak corong.
Kapak corong banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar dan Irian dekat danau Sentani. Berbagai jenis ditemukan, ada yang kecil bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan; ada yang pendek lebar, ada yang bulat, dan ada pula yang panjang satu sisi. Yang panjang satu sisi disebut Cendrasa. Tidak semua kapak itu dipergunakan sebagai kapak. Misalnya, yang kecil adalah tugal, sedangkan yang sangat indah dan juga cendrasa tidak dapat digunakan sebagai perkakas dan hanya dipakai sebagai tanda kebesaran dan alat upacara saja.
Cara pembuatan kapak-kapak corong itu menunjukkan adanya tehnik a cire perdue. Di dekat Bandung ditemukan cetakan dari tanah bakar untuk menuang kapak corong. Berdasarkan penyelidikan, menyatakan bahwa yang dicetak bukan logamnya, melainkan kapak yang dibuat dari lilin, ialah kapak yang menjadi kodel dari kapak loamnya. Cetakan-cetakan itu membutikan bahwa kapak-kapak perunggu bukan barang luar negeri saja, melainkan negeri Indonesia pun mengenalnya.

B.                 Nekara
Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Nekara yang ditemukan di Indonesia hanya beberapa yang utuh. Bahkan ada yang berupa pecahan-pecahan saja. Nekara itu ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, pulau Sangean dekat Sumbawa, Roti, Leti, Selayar dan di Kepulauan Kei. Di Alor banyak pula tedapat nekara, tetapi lebih kecil dan ramping daripada yang ditemukan di lain-lain tempat. Nekara yang demikian itu disebut moko. Dari hias-hiasannya dapat diketahui bahwa moko itu tidak semunya berasal dari zaman perunggu. Ada diantaranya yang berasal darizaman majapahit, bahkan ada yang dibuat dari zaman mutakhir abad 19, dengan memakai hiasan lencana Inggris. Sampai kini moko sangat dihargai penduduk dan hanya disimpan saja sebagai pusaka dan ada dipergunakan sebagai maskawin.
Di Bali terdapat nekara yang besar sekali. Sampai kini yang terbesar dan masih utuh tingginya 1,86 meter dan garis tengahnya 1, 60 meter. Nekara itu dianggap sangat suci dan dipuja penduduk. Tidak hanya di Bali, di tempat lain nekara pun dianggap barang suci.  Penyelidikan menunjukan bahwa nekara ini memang hanya dipergunakan waktu upacara-upacara saja.
Hiasan-hiasan itu sangat luar biasa pentingnya untuk sejarah kebudayaan, oleh karena dari berbagai lukisan itu, kita dapat gambaran tentang kehidupan dan kebudayaan yang ada pada saat itu. Dari hiasan-hiasan itu nampak dengan nyata, bahwa kebudayaan perunggu Indonesia tidak berdiri sendiri, melainkan hanya merupakan bagian dari lingkungan kebudayaan yang lebih luas yang meliputi seluruh Asia Tenggara.
Pada nekara dari Sangean ada ganbar orang menunggang kuda beserta dengan pengiringnya, keduanya memakai pakaian Tatar. Gambar-gambar orang Tatar  itu memberi petunjuk akan adanya hubungan dengan daerah Tiongkok. Pengaruh dari zaman itu masih nyata pada seni hias suku bangsa Dayak dan Ngada(Flores).
Nekara dari Sangean dan kepulauan Kei dihiasi gambar-gambar gajah, merak dan harimau, semuanya bukan bintang dari bagian timur. Maka dapat disimpulkan bahwa nekara-nekara itu dari lain tempat asalnya, ialah bagian dari barat Indonesia dan benua Asia. Jelas bahwa persebaran nekara-nekara di Indonesia dari barat ke timur jalannya.
Dapat dikatakan bahwa tidak semua nekara berasal dari luar Indonesia. Ada pula buatan dalam negeri.  Di desa Manuaba(Bali) ditemukan sebagian dari cetakan batu untuk membuat nekara, kini disimpan dan dipuja di sebuah pura di desa tersebut. Batu cetakan itu diukir oleh hiasan-hiasan yang biasa terdapat pada nekara, terutama sebagian dari hiasan-hiasan nekara pajeng. Adanya batu cetakan nekara itu memberi kesan bahwa, nekara itu pembuatannya dengan cara menuangkan cairan perunggu ke dalam cetakan tadi. Akan tetapi banyak ahli berpendapat bahwa yang dicetak dengan cetakan batu itu hanyalah nekara lilinnya saja, sedangkan nekara perunggu dibuat dengan cara a cire perdue.

C.                 Benda-benda lainnya
Selain kapak corong dan nekara, banyak benda-benda lain yang didapatkan dari zaman perunggu, sebagian besar berupa perhiasan seperi: gelang, binggel (gelang kaki), anting-anting, kalung dan cincin. Ada cincin yang sangat kecil. Yang tidak dapat dimasukkan jari anak-anak, ini dapat digunakan sebagai alat penukaran uang.
Seni menuang patung juga sudah ada. Dengan adanya beberapa buah patung, di antaranya arca-arca orang yang sikapnya aneh dan satu arca lagi berupa kerbau. Ada juga beberapa patung kecil kepala binatang dengan badan yang serupa pembuluh; pada bagian atas badannya ditempel semacam cincin, sehingga benda itu dapat digantung, ini dapat digantung sebagai liontin(perhiasan yang menggantung pada kalung).
Dari daerah tepi danau Kerinci dan dari pulau madura ditemukan bejana perunggu yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Kueduanya mempunyai hiasan ukiran yang serupa dan sangat indah, berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang mirip huruf j. Di samping itu pada bejana dari Madura nampak pula gambar-gambar merak dan rusa dalam kotak-kotak segitiga.
Selain benda-benda perunggu ada lagi benda yang bukan dari perunggu tetapi ada pada zaman perunggu asalnya, yaitu manik-manik dari kaca. Terdapat pada kuburan-kuburan, jumlahnya sangat besar, sehingga memberi corak istimewa pada zaman perunggu itu. Manik itu sebagai nekara kecil dan mata uang, dibawa kepada orang yang telah meninggal sebagai bekal ke akhirat. Dapat dikatakan bahwa pada zaman perunggu, orang telah pandai membuat dan menuang kaca. Hanya tehniknya saja yang masih sederhana, karena hasilnya yang kebanyakan agak kasar dan kadang-kadang masih bercampur pasir(pasir adalah bahan membuat kaca).
Manik-manik itu ada yang besar dan ada yang kecil. Bentuknya pun bermacam-macam, begitu pula warnanya:kuning, merah, biru, hijau, dan putih. Banyak pula yang berwarna banyak, hasil pencampuran berbagai lapis kaca dengan warna yang berlainan. Manik-manik itu dibuat dan dipakai sampai zaman sejarah. Sampai kini banyak orang dan suku bangsa di Indonesia yang sangat menyukai dan menghargai barang itu, sehingga menjadi barang perdagangan, misalnya di Kalimantan, Timor dan Irian.


1.                   Zaman Besi

Dalam arkeologi, Zaman Besi adalah suatu tahap perkembangan budaya manusia di mana penggunaan besi untuk pembuatan alat dan senjata sangat dominan. Penggunaan bahan baru ini, di dalam suatu masyarakat sering kali mencakup perubahan praktik pertanian, kepercayaan agama, dan gaya seni, walaupun hal ini tidak selalu terjadi.
Zaman Besi adalah periode utama terakhir dalam sistem tiga zaman untuk mengklasifikasi masyarakat prasejarah, yang didahului oleh Zaman Perunggu. Waktu berlangsung dan konteks zaman ini berbeda, tergantung pada negara atau wilayah geografis. Secara klasik, Zaman Besi dianggap dimulai pada Zaman Kegelapan Yunani pada abad ke-12 SM dan Timur Tengah Kuno, abad ke-11 SM di India, dan antara abad ke-8 SM (Eropa Tengah) dan abad ke-6 SM (Eropa Utara) di Eropa. Zaman Besi dianggap berakhir dengan kebangkitan kebudayaan Hellenisme dan Kekaisaran Romawi, atau Zaman Pertengahan Awal untuk kasus Eropa Utara.
Zaman Besi berhubungan dengan suatu tahap di mana produksi besi adalah salah satu bentuk paling rumit dari kerajinan logam. Kekerasan besi, titik lebur yang tinggi, dan sumber bijih besi yang melimpah, membuat besi lebih dipilih dan murah dari pada perunggu, yang memengaruhi dipilihnya besi sebagai logam yang paling umum digunakan. Karena kerajinan besi diperkenalkan secara langsung ke Amerika dan Australasia oleh kolonisasi Eropa, daerah-daerah tersebut tidak pernah mengalami Zaman Besi.
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.
Pada masa ini manusia telah dapat melebur besi untuk dituang menjadi alat-alat yang dibutuhkan, pada masa ini di Indonesia tidak banyak ditemukan alat-alat yang terbuat dari besi.
Alat-alat yang ditemukan adalah :
·    Mata kapak, yang dikaitkan pada tangkai dari kayu, berfungsi untuk membelah kayu
·    Mata Sabit, digunakan untuk menyabit tumbuh-tumbuhan
·    Mata pisau
·    Mata pedang
·    Cangkul, dll
Jenis-jenis benda tersebut banyak ditemukan di Gunung Kidul(Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur)

2.                   Zaman Tembaga
Orang menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan ini hanya dikenal di beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) tidak dikenal istilah zaman tembaga.

3.                   Kebudayaan Dongson

Kebudayaan Đông sơn adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah sông hồng,vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di asia tenggara, termasuk di nusantara dari sekitar 1000 sm sampai 1 sm. Kebudayaan dongson mulai berkembang di indochina pada masa peralihan dari periode mesolitik dan neolitik yang kemudian periode megalitik. Pengaruh kebudayaan dongson ini juga berkembang menuju nusantara yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan perunggu.
Asal mula kebudayaan ini berawal dari evolusi kebudayaan austronesia . Asal usulnya sendiri telah dicari dari barat dan bahkan ada yang berpendapat bahwa kelompok itu sampai di dongson melalui asia tengah yang tidak lain adalah bangsa yue-tche .namun pendapat ini sama halnya dengan pendapat yang mengaitkan dongson dengan kebudayaan halstatt yang ternyata masih diragukan kebenarannya.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa benda-benda perunggu di yunnan dengan benda-benda yang ditemukan di dongson. Meski harus dibuktikan apakah benda-benda tersebut dibuat oleh kelompok-kelompok dari barat sehingga dari periode pembuatannya, dapat menentukan apakah benda tersebut adalah model untuk dongson atau hanyalah tiruan-tiruannya. Jika dugaan ini benar maka dapat menjelaskan penyebaran kebudayaan dongson sampai ke dataran tinggi burma.
Benda-benda arkeologi dari dongson sangat beraneka ragam, dari berbagai aliran. Terlihat dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit. Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Karya yang terkenal adalah nekara besar diantaranya nekara ngoc-lu yang kini disimpan di museum hanoi, serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa dongson.
Contoh karya yang terkenal

Tombak Dong son           

Kebudayaan Dongson yang berkembang di situs Dongson, ternyata juga ditemukan karya-karya budaya yang diinspirasikan oleh kebudayaan tersebut di bagian selatan*Semenanjung Indochina*(Samrong,*Battambang*di*Kamboja) hingga Semenanjung Melayu (Sungai Tembeling di Pahang dan Klang di Selangor) hingga Nusantara (Indonesia).

BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat dapat bertahan hidup karena menghasilkan kebudayaan, kebudayaan itu ada karena dihasilkan oleh masyarakat. Dan melalui kebudayaanlah segala corak kehidupan masyarakat dapat diketahui.
Dengan demikian dari hasil-hasil kebudayaan material dapat dikaji dan dipelajari corak kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia. Berdasarkan hasil-hasil kebudayaan yang ditinggalkan oleh masyarakat di kepulauan Nusantara sebelum mengenal tulisan, maka kehidupan masyarakat paling awal di Indonesia oleh para ahli di bagi menjadi dua zaman. Dua zaman tersebut yaitu:

A. Zaman Batu
• Zaman batu tua ( Paleolithikum)
• Zaman batu madya (Mesolithikum)
• Zaman batu muda ( Neolithikum)
• Zaman batu besar ( Megalithikum)
B. Zaman Logam
• Zaman tembaga
• Zaman perunggu
• Zaman besi

            Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidak mengenal zaman tembaga. Demikian juga peninggalan zaman besi jumlahnya juga sangat sedikit dan waktunya bersamaan dengan zaman perunggu sehingga di Indonesia hanya mengenal zaman perunggu saja

2. SARAN
            Peninggalan sejarah dalam bentuk apapun, baik dalam bentuk artefak maupun kebudayaan hendaknyalah dilestarikan dan dijaga jke asliannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar